Rabu, 27 Juli 2016


Ganti Kerugian diartikan sebagai sesuatu keharusan atau kewajiban yang dibebankan kepada seseorang atau beberapa orang yang telah melakukan suatu perbuatan atau tindakan yang melawan hukum dan atas perbuatan itu menimbulkan suatu kerugian bagi orang lain, baik karena kelalaiannya (kealpaannya/culpa) maupun karena suatu kesengajaan (dolus). 


Ada tiga cara atau jalur yang dapat ditempuh oleh korban untuk menuntut suatu Ganti Kerugian akibat adanya tindak pidana yaitu: Pertama: Dengan cara Penggabungan Perkara Ganti Kerugian, Kedua: Dengan cara mengajukan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH), dan Ketiga Dengan cara mengajukan Permohonan Restitusi. 


Menuntut ganti kerugian akibat suatu perbuatan tindak pidana melalui jalur Penggabungan Perkara Ganti Kerugian dapat dimohonkan sekaligus dalam proses persidangan pidana, dengan catatan perhomonannya diajukan selambat-lambatnya sebelum Jaksa Penuntut Umum mengajukan tuntutan pidana kepada Terdakwa. Apabila pada saat persidangan penuntut umum tidak hadir, maka permintaan dapat diajukan untuk selambat-lambatnya sebelum hakim menjatuhkan putusan (lihat Pasal 98 ayat (2) UU KUHAP). Adapun proses pemeriksaan penggabungan perkara ganti kerugian tersebut didasarkan pada ketentuan Pasal 101 KUHAP. Dengan demikian jelas tuntutan ganti kerugian dapat digabungkan bersama dengan proses pemeriksaan pidana sebagaimana ditegaskan dalam ketentuan Pasal 98 ayat (1) KUHAP yang menegaskan:

Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu.”

Sesuai dengan Pasal 99 ayat (1) KUHAP, Pengadilan wajib memeriksa dan menimbang tentang kewenangannya untuk mengadili gugatan tersebut, lalu mengenai kebenaran dasar gugatan ganti kerugian serta berapa nilai penggantian biaya yang harus diberikan kepada korban berdasarkan kerugian yang dialami). Putusan atas gugatan ganti kerugian tersebut dengan sendirinya akan mendapatkan kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde) bersamaan dengan putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, namun bila perkara masih diajukan Banding ke Pengadilan Tinggi, maka Putusan tentang gugatan Ganti rugi juga akan diperiksa di tingkat banding sehingga putusan tersebut belum berkekuatan hukum tetap. Sebaliknya jika perkara pidana tidak diajukan upaya hukum banding dan telah habis jangka waktu mengajukan banding, maka putusan gugatan ganti rugi tersebut juga tidak dapat dibanding dan akan otomatis berkekuatan hukum tetap.

Sedangkan tuntutan ganti rugi dengan materi Perbuatan Melawan Hukum adalah mekanisme dengan menggunakan hukum perdata. Dalam proses ini tentu diperlukan bukti yang kuat bahwa pelaku memang telah melakukan tindak pidana dan menimbulkan kerugian kepada korban. Dengan demikian pihak korban harus lebih dahulu menunggu proses pemeriksaan di pengadilan pidana memperoleh kekuatan hukum tetap. Perbuatan Melawan Hukum (onrechtmatige daad) diatur dalam Pasal 1365 KUHPerdata atau Burgerlijk Wetboek, yang berbunyi: “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”
 
Selain kedua mekanisme diatas, ada mekanisme lain yaitu dengan mengajukan permohonan Restitusi. Adapun dasar hukum pengajuan permohonan Restitusi adalah sebagai berikut:
1.   Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban;
2.   Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Bantuan Kepada Saksi dan Korban;  
3. Peraturan LPSK No. 1 Tahun 2010 tentang Standar Operasional Prosedur Permohonan dan Pelaksanaan Restitusi

Permohonan Restitusi diajukan secara tertulis oleh pihak Korban, Keluarganya ataupun melalui Kuasanya kepada Pengadilan melalui LPSK. Dalam Ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi, Permohonan Restitusi ini disebutkan bahwa permohonan dapat diajukan sebelum atau setelah pelaku dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.


Semoga Bermanfaat.

Senin, 25 Juli 2016

Misalnya seorang Pekerja/Buruh melakukan hubungan kontrak kerja dengan suatu Perusahaan, anggaplah selama dua tahun dan telah ditandangani, dengan asumsi bahwa kontrak tersebut adalah suatu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”), maka yang demikian itu disebut dengan "hubungan kerja"

Yang dimaksud Hubungan kerja dalam ketentuan Pasal 1 angka (15) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan) adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah. 
Selanjutnya definisi Perjanjian kerja menurut Pasal 1 angka (14) UU Ketenagakerjaan adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak. 

Adapun Perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu (atau yang sering disebut PKWT) dan untuk waktu tidak tertentu ( atau yang sering disebut PKWTT) sesuai dengan ketentuan Pasal 56 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Untuk Perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang kurangnya harus memuat komponen:
a.    nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;

b.    nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;

c.    jabatan atau jenis pekerjaan;

d.    tempat pekerjaan;

e.    besarnya upah dan cara pembayarannya;

f.     syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;

g.    mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

h.    tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

i.      tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.


Dalam Ketentuan Pasal 61 ayat (1) menegaskan Perjanjian kerja yang dibuat antara Pekerja/buruh dengan Pengusaha hanya dapat berakhir apabila:

a).   Pekerja meninggal dunia;

b).   Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;

c).  Adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan  hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau

d). Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.


Jadi dapat disimpulkan, apabila salah satu pihak baik Pekerja/buruh maupun Pengusaha mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang telah disepakati dalam perjanjian kerja waktu tertentu, maka pihak mana yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja yang telah disepakati sebelumnya antara Pekerja.Buruh dengan Pengusaha. (Lihat Pasal 62 UU Ketenagakerjaan). Selain mengenai waktu yang telah diperjanjikan, jika salah satu pihak mengakhiri  hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), maka yang mengakhiri juga diwajibkan mengganti kerugian sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

Semoga Bermanfaat.
 

Bertitik tolak dari ketentuan Sistem pembayaran upah bagi buruh/pekerja harian dalam Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“selanjutnya disebut UU Ketenagakerjaan”) menegaskan bahwa yang dikatakan sebagai Upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 12 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 tahun 2015 tentang Pengupahan menegaskan bahwa Upah ditetapkan berdasarkan dua hal, yaitu:
a) .    satuan waktu; dan/atau
b).    satuan hasil.

Dalam hal Upah tersebut berdasarkan satuan waktu maka pemberian upah ditetapkan secara harian, mingguan atau bulanan. Upah yang ditetapkan dalam satuan waktu secara harian maka perhitungan upah sehari berdasarkan Pasal 13 ayat 2 PP Pengupahan adalah sebagai berikut:
a) Bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 25; atau
b).Bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 21.

Sedangkan untuk upah yang ditentukan berdasarkan satuan hasil maka pengupahannya ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang sebelumnya telah disepakati oleh para pihak. Lalu untuk Penetapan besarnya Upah dilakukan oleh Pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha (lihat Pasal 15 ayat (1) dan (2) PP Pengupahan).

Sesuai dengan ketentuan hukum, maka THR adalah suatu kewajiban yang diberikan oleh Pegusaha kepada buruh/Pekerja berdasarkan masa kerja buruh/pekerja tersebut dan tidak ada kaitannya dengan status buruh atau pekerja tersebut.

Sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 6 Tahun 2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan ditetapkan bahwa pengusaha wajib memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada buruh/pekerja yang telah mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus atau lebih. Dengan demikian, untuk buruh/pekerja yang masa kerjanya kurang dari 1 bulan maka ia tidak berhak atas THR, sedangkan bagi  buruh/pekerja yang telah memiliki masa kerja lebih dari satu bulan, maka ia tetap berhak atas THR, tak terkecuali untuk pekerja harian.

Adapun perhitungan Tunjangan Hari Raya (THR) ditentukan sebagai berikut:
a)   Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan secara terus menerus atau lebih, diberikan sebesar 1 (satu) bulan upah;
b)    Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja 1 (satu) bulan secara terus menerus tetapi kurang dari 12 (dua belas) bulan, diberikan secara proporsional sesuai masa kerja dengan perhitungan:

Masa Kerja X 1 (satu) Bulan Upah 
                    12

Sebagai contoh pekerja/buruh tersebut telah bekerja selama 9 bulan secara terus menerus dengan upah perbulannya Rp. 2.500.000,- . maka perhitungannya THR yang harus diberikan adalah 

masa kerja selama 9 bulan X  2.500.000,-    =  hak THR adalah sebesar  Rp.1.875.000,-
                      12

Agar pengaturan mengenai "upah" ini lebih jelas, maka dalam ketentuannya, Upah 1 (satu) bulan itu terdiri atas komponen upah, yaitu:
a.    upah tanpa tunjangan yang merupakan upah bersih (clean wages); atau
b.    upah pokok termasuk tunjangan tetap.

Sedangkan ketentuan terhadap pekerja/buruh yang bekerja berdasarkan perjanjian kerja sebagai "harian lepas", maka upah 1 (satu) bulan dihitung dengan cara sebagai berikut:
a).  Pekerja/Buruh yang telah mempunyai masa kerja 12 (dua belas) bulan atau lebih, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima dalam 12 (dua belas) bulan terakhir sebelum Hari Raya Keagamaan;
b).  Pekerja/Buruh yang mempunyai masa kerja kurang dari 12 (dua belas) bulan, upah 1 (satu) bulan dihitung berdasarkan rata-rata upah yang diterima tiap bulan selama masa kerja.

Semoga Bermanfaat.


Popular Posts

Pengikut

Diberdayakan oleh Blogger.